Kamis, 13 Maret 2014

CONTOH CERPEN



CONTOH CERPEN

Peradilan Rakyat
Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***


NASI BUNGKUS PRESIDEN
Cerpen Abank Juki
(Cikarang, Minggu, 8 April 2012, 05.00 WIB)

Sore itu ku berjalan susuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.
“Bu... lapar....”

Kupertajam indera dengarku.
“Bu, pengen makan....”
“Iya nak, ibu tahu kau lapar. Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya....”
“Bu... aku lapar.”
“Iya nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”

Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bisa kuteguk. Itupun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong paling ujung. Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.
“Bu, lapar....”
“Iyaaaa... nak... tunggu bapakmu.”


Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.
“Nak, Tuhan mendengarmu. Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
“Bu, bapak pulang.”
“Bapak... Ara lapar, mau makan.”
“Iya, nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”
“Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
“Iya, nak. Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
“Iya pak, makasih.”
“Bukan ke bapak nak, tapi ke presiden kita.”
“Emang makanan ini dari presiden ya pak?”
“Iya nak, karena presiden mau menaikkan BBM, hari ini bapak dapat makanan.”
“Pak presiden yang ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu presiden ya? Bapak hebat. Ara mau ketemu presiden pak. Ara mau bilang makasih ke presiden. Bapak antarkan Ara Ya....”
“Sudah, kamu makan dulu sana.... Habiskan ya nak.”

Sesaat ku terdiam. Kurenungkan dialog bpk dan anak itu. Presiden mmberi nasi bungkus? Kpd bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang presiden sebaik itu??

Alangkah baiknya sang presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.

Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat?? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.

BBM naik. Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???

Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung. Di tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur dgn perut yang hanya terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.

Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dn seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.

Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.

Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka. Kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang presiden memberikan nasi bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??

Dengan sabar kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sdh kuhapal.
“Bu, lapar... mau makan.”
“Iya nak, tunggu bapak pulang.”

Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk anaknya.
“Pak, lapar....”
“Iya nak, nih bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak presiden lagi?”

Sang bapak tua tak menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi.
“Nasi ini dari presiden kita, nak.”

Lalu meminta anaknya makan.
“Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”

Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.
“Bapak benar bertemu pak presiden? Benar bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar bapak.... Benar bapak....”

Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.

Hahahaha, ternyata rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati kumerasa sebentar lagi penasaran itu 'kan terjawab.

Dengan tenang sang bapak memegang kedua pundak sang ibu.
“Bu, kita ini siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita bu, dia tak kenal bapak. Lagipula ibu percaya bahwa presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
“Tapi pak.... Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”
“Bu..., bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu pak.... Dari mana nasi bungkus itu?”

Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bu, bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM. Bapak juga tak peduli. Siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang bapak tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.

Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat. Mereka makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, bu.

Beberapa hari ini bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak cuma tahu pak presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat presiden, nasi ini dari presiden.

Seketika aku tergagap. Aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati. Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.

===TAMAT===





TAMAN SURGA
Karya Mardiono

MALAM cerah yang semakin pekat ini, tak melunturkan semangatku mengurus berkas-berkas persyaratan kuliah ke Madinah Al Munawwarah. Satu malam ini, hampir lima kali aku bolak-balik ke rumah Ustadz Awwal untuk menerjemahkan surat lamaranku.
“Wah Zie, kalau saja berkasmu ini sudah sampai kesana, kemungkinan besar antum akan diterima. Biasanya mereka memang mencari calon mahasiswa yang berasal dari desa terpencil dan bisa Bahasa Arab walaupun sedikit.” Semangat Ust Awwal kepadaku, membayar kelelahanku sesaat.

Namun semangat itu masih belum dapat memadamkan api kepiluanku. Bagaimana mungkin aku bisa tenang mengejar masa depan nan menjanjikan sementara di kampungku, abangku hampir mati karena mencoba bunuh diri.
“Ozie,. ???” Panggil Ustadz Awwal mengejutkanku.
“Oh, ya. ehm….. uda selesai semua Ustadz ?” tanyaku gelagapan. Sesaat lamunanku buyar.
“antum nampaknya sedih Zie !” tatapnya serius. “…kalau memang antum ada masalah, kan bisa cerita ke Ustadz,. Di Medan perantauan seperti ini, anggaplah saya sebagai orang tuamu, selain sebagai musyrif sakan disini.. ” sambungnya sambil mengarahkan tubuhku menatapnya.
“eng….eng…. gak kok ustadz, mungkin ana cuma capek malam ini. Butuh istrahat.. ” jawabku sekenanya.
“ya udah. Tapi ingat, kalau ada apa-apa, laporkan langsung dengan ustadz. Masalah anak sakan juga masalah ustadz disini”

***


Udara malam di kota Medan begitu panas. Tapi masih belum mampu menyulut semangatku. Aku beku bagai dalam penjara es yang mencekam. Keraguan dalam sedih. Termenung menyendiri di depan jendela samping, memandang pepohonan rindang yang terus bertasbih kepada penciptaNya.

Anganku mulai mengingat peristiwa itu. Saat itu aku harus cepat pulang ke Nias, karena abangku tengah berada di Rumah Sakit. Malam kamis tepatnya pukul delapan malam, mobil Kijang Innova telah menjemputku di depan asrama. Ternyata pamanku telah memesankannya, agar aku cepat sampai tujuan. Dalam perjalanan, berkelebat bingung tak habis fikir. Bagaimana mungkin abangku Udin tega ingin bunuh diri disaat hari bahagia menjelang resepsi pernikahan kakakku.

Jarak tempuh satu hari satu malam itu, membuat tubuhku lelah. Pasalnya kami harus menyeberang lautan Sibolga untuk dapat sampai ke Nias. Aku banyak tertidur di perjalanan.

Tiba dirumah. Pamanku juga sudah memesankan angkutan becak untuk dapat mengantarkanku langsung ke rumah sakit. Tanpa rehat. Aku langsung meluncur menjemput abangku. Lelah karena perjalananpun tak terasa lagi. Terbilas oleh kepanikan yang merindu.

Ia masih terkujur lemas bersandingkan infus ditangan kirinya dan bekas jahitan di lehernya yang terbalut perban. Perlahan aku mendekat. Rinduku tumpah dalam bulir air mata yang mulai mengalir tanpa sadar.

Ia terus mengigau menyebut – nyebut “ibu” dalam alam tak sadarnya. Hatiku gemetar haru. Batinku menangis sejadi – jadinya. Sekejab menyusup masuk dalam rongga dadaku sebongkah kerinduan untuk ibu. “Ibu, seandainya engkau masih berada disisi kami, mungkin tidak begini bu…..” desahku membatin.

Tak berapa lama kemudian, kakakku dan calon suaminya datang menegurku dari belakang. Acara walimahannya tidak bisa ditunda. Hampir tiga ratus undangan telah disebar. Begitu juga semua bahan-bahan makanan dan dekorasi pesta telah dipesan. Kak Zahra minta izin padaku akan hal ini. Biarlah ini berjalan apa adanya.

Menurut dokter, abangku mengalami depresi yang kuat. Semacam ada tekanan batin yang selama ini mengganjal di ulu hatinya. Tapi ia terus menahannya.

Suasana pesta yang seharusnya megah bersambut gembira kini menjadi hambar bak kuburan. Lantunan sholawat bertabuhkan rebbana bagai nyanyian kematian yang mengantarkan jenazah. Bagaimana mungkin kami bisa menyetel senyum saat berada di depan kamera sedangkan nama keluarga kami telah tercoreng.
***

Semakin hari kondisi kesehatannya membaik. Ia telah melewati masa kritisnya. Denyut nadinyapun kembali normal. Ia mulai sadar...
“a….a….aku dimana ?” tanyanya lemas, mencoba membuka matanya.
“tenang aja bang, gak usah bergerak dulu” sahutku khawatir menyentuh tangannya.
“ibu…..ibu…..ibu…..” gumamnya dalam kondisi antara sadar dan tak sadar.
“iya bang, ibu kenapa ?, ia sudah tenang ditempatnya. Abang kangen ya ma ibu ?” tanyaku mencoba berinteraksi.
“Zie, tadi abang bermimpi bertemu dengan ibu, ditaman yang serba indah, wangi dan beragam bunga-bunga yang mekar, aku kembali seperti anak-anak. Dia mengajakku bermain, berlari-lari, disela-sela gang ditaman itu. Tapi aku gak tahu, tiba-tiba aku telah berada diruangan ini. Hanya satu pesan yang diucapkannya sebelum kami berpisah, ia bilang kalau besok akan menjemputku lagi untuk bermain ditaman itu” paparnya pelan dan jelas. Entah ada kekuatan dari mana sehingga ia bisa berbicara seperti orang sehat. Aku heran.
“Zie, maafkan abang..!!, abang memang gak pantas menjadi kepala rumah tangga selepas ayah meninggal. Maafkan abang Zie, kalau kau jadi merasa terlantar tidak mendapatkan kasih sayang Zie…..” sambungnya sedih.

Harus bagaimana aku menghiburnya. Bergumpal sudah butiran air mata yang membendung dipelupuk mataku mendengar itu. tak bisa kutahan lagi. Tapi aku harus gembira untuk menghiburnya…..
“Gak bang., abang gak salah apa-apa. Abang tahu gak, sebentar lagi aku akan kuliah diluar negeri. Di Madinah bang… aku akan jadi orang yang berhasil bang….!!!? Seruku menghiburnya. Namun tetap wajahku tak dapat dibohongi. Air mataku terus membanjiri kedua pipiku. Kupaksakan melebarkan sudut-sudut bibirku, mencerahkan wajahku dan membesarkan kelopak mataku. Aku harus gembira agar ia semangat.

Aku bagai melihat sosok mayat yang sedang bicara di hadapanku. Omongannya mulai ngelantur tidak jelas. Aku semakin sedih.
Beberapa saat kemudian pamanku datang beserta kak Zahrah dan suaminya. Mereka menyuruhku pulang. Paman telah mengatur tiket kepulanganku ke Medan. Sedangkan kak Zahrah dengan suaminya akan menunggui bang Udin dirumah sakit. Sebelum akad nikah berlangsung, kak Zahrah mengajukan syarat kepada calon suaminya. Bahwa mereka tidak akan bulan madu dulu sebelum bang udin sembuh. Bagaimana mungkin kak Zahrah tega melihat abangnya tengah sakit tak berdaya dipembaringan, sedangkan ia asyik memadu cinta.

Suaminya maklum akan hal itu. Kalaupun harus dibatalkan, ia dan keluarganya juga akan malu karena telah memakan biaya banyak untuk meminang dan prosesi pernikahan.
***

“Zie, kamu harus balik ke Medan. Waktu yang paman sepakati dengan mudir ma’had hanya tiga hari saja. Karena saat ini kalian sedang ujian semester !!!” ajak pamanku segera.
“Tapi paman……, aku gak bisa tinggalkan bang Udin dalam keadaan begini. Biarlah aku mengikuti daur tsani asal aku bisa puas melihat bang Udin sembuh paman..!!!” mohonku sedih tak tertahan.
“Zie, tolong kamu ngertiin paman, sebenarnya kamu hanya diberi jatah satu hari saja karena masih ujian. Tapi paman menjaminmu dengan surat keaktifan mengajar paman di ma’had. Kalau sampai kita tidak pulang hari ini, bagaimana nama baik paman disana Zie……, tolong mengerti” terang pamanku tegas

Lenganku ditarik perlahan keluar dari kamar bang Udin, aku setengah terpaksa keluar dari kamar itu. Sosok tubuhnya yang lemas pucat di pembaringan, semakin lama semakin mengecil terlihat. Aku pulang.

Selama perjalanan pulang, aku bagai orang bodoh. Tidak nafsu makan dan tak ingin ngomong. Mengitar hebat rasa khawatir di benakku….. bagaimana kondisi bang Udin ?
***

“Akhi …..,” sapa temanku disamping, menyadarkanku dari lamunan. “….besok ujian, sekarang sudah jam dua pagi, antum gak istrahat ?” tanyanya melanjutkan.

Waktu terus berjalan, aku tidak boleh terus larut dalam sedih.
Ujian Semester ini harus bisa ku menangkan. Pasti abangku akan senang bila melihat aku lulus diujian akhir ini. Setiap malam, aku berusaha menghafal dan memahami buku bacaan yang akan diujikan keesokan harinya. Hingga masa tenang - masa penantian menunggu hasil kelulusan - tiba. Rindu dengan suara bang Udin, kutelepon kak Zahrah, ia terus memberi semangat aku untuk terus belajar dan dapat melanjutkan pendidikan keluar negeri. Sementara kabar bang Udin, ia sedang istrahat. Hanya itu yang diucapkan.

Waktu yang ditunggu tiba. Banyak santri yang memberikan selamat kepadaku. “Mabruk alaik ya akhi ”. Alhamdulillah aku lulus dengan predikat mumtaz .

Ijazahku ini akan ku persembahkan untuk abangku tercinta. Aku minta kepada paman agar mengurus kepulanganku kembali ke Nias, tapi……
“Zie, kamu yang sabar ya Zie., ketika kak Zahrah memberi kabar pada paman, ia bilang kalau ini dirahasiakan agar ujianmu lancar. Tidak ada yang mengganggu. Kau juga telah berjanji akan kuliah di luar negeri selepas ini kan ?” Tanya pamanku serius.
“Iya paman, ta…..ta….tapi rahasia apa ?” tanyaku penuh penasaran.
“Setelah kita sampai ke Medan, kak Zahrah menelpon paman kalau bang Udin,……” putusnya perlahan.
“Bang Udin kenapa paman…….?” Tanyaku semakin penasaran, menggoyang kedua bahunya.
“Ia sudah tenang dalam tempat peristrahatannya Zie..” Jawab pamanku sedih.

Aku masih tak percaya. Tertegun kaget dan menyesal. Seluruh urat saraf dalam tubuhku lemas. Ijazah yang kupegang, jatuh kelantai dengan sendirinya. Dalam telingaku, masih terngiang suara parau lemasnya bang Udin. “ia bilang, kalau besok ia akan menjemputku lagi untuk bermain di taman itu.” Dadaku serasa sesak. Kakikupun tak sanggup menopang tubuhku. Tiba - tiba, dunia gelap semua……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar