·
PENGERTIAN
Istilah alergi makanan (food
allergy) adalah bagian dari terminologi yang lebih luas, yaitu
hipersensitivitas makanan (food hypersensitivity), diterjemahkan sebagai semua
reaksi tak terduga yang timbul berkaitan dengan makanan, dan dapat dibedakan
atas:
1. Alergi makanan (food allergy), yang
reaksinya berhubungan dengan mekanisme imunologis, dan diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE), ataupun non IgE.
2. Intoleransi makanan (food
intolerance), yang tidak diperantarai oleh mekanisme imunologis. Intoleransi
terjadi akibat bahan-bahan yang terkandung dalam makanan seperti toksin/racun
(misalnya histamin pada keracunan makanan laut/ikan), atau penggunaannya secara
farmakologis (misalnya tiramin dalam keju atau anggur merah). Reaksi ini
terjadi pada orang yang sangat sehat sekalipun, jika mengkonsumsi bahan makanan
tadi dalam dosis besar. Berbeda dengan alergi makanan yang terjadi meskipun
dosis makanan cukup kecil. Kemungkinan lain penyebab intoleransi makanan adalah
adanya penyakit metabolisme bawaan (misalnya defisiensi enzim laktase yang
menyebabkan intoleransi laktosa).
· Prevalensi
Alergi makanan lebih banyak terjadi
pada anak-anak, dibandingkan dengan orang dewasa. Alergi makanan yang
diperantarai oleh IgE terjadi pada 6% anak di bawah 3 tahun, dan 2% pada
dewasa. Anak dengan penyakit alergi (atopi) seperti eksim (dermatitis atopi)
dan asma lebih rentan mengalami alergi makanan. Lebih dari 95% alergi makanan
timbul pada jenis makanan seperti: telur, susu, kacang-kacangan, gandum,
kedelai, dan ikan. Mencapai usia 5 tahun, alergi terhadap telur, gandum, susu,
dan kedelai menghilang pada sebagian besar anak. Namun alergi terhadap
kacang-kacangan dan makanan laut tetap bertahan sampai usia dewasa pada 80%
anak.
·
Gambaran
Klinis
Berikut akan dijelaskan gambaran
klinis yang dapat ditemukan pada alergi makanan yang diperantarai IgE dan
non-IgE.
· Alergi Makanan yang Diperantarai IgE
(IgE Mediated Foof Allergy)
Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis menyeluruh berdasarkan keluhan/gejala yang ada. Reaksi alergi umumnya
timbul dalam 30 menit setelah menelan alergen, dan menimbulkan satu/lebih tanda
dan gejala berikut:
- kulit
|
:
|
eritema, urtikaria, angioedema
|
- gastrointestinal
|
:
|
muntah, diare, nyeri perut
|
- saluran napas
|
:
|
batuk, suara serak, stridor, mengi
|
- kardiovaskular
|
:
|
hipotensi, pingsan
|
· Alergi Makanan yang Tidak
Diperantarai IgE (Non IgE Mediated Food Allergy)
Tanda dan gejala tinbul beberapa
jam/hari setelah menelan alergen. Macamnya adalah:
1.
Sindrom
enterokolitis yang dipicu oleh protein makanan. Kelainan ini timbul pada bayi
yang mengkonsumsi susu sapi atau susu kedelai, atau makanan seperti sereal
beras. Gejala timbul dalam 1 – 3 jam setelah menelan alergen, berupa muntah
terus-menerus cairan berwarna empedu. Hipotensi terjadi pada 15% kasus, dengan
gejala pucat dan lemas, sehingga sering disalahdiagnosiskan sebagai sepsis.
Tidak jarang gejala berulang sampai akhirnya diketahui alergi makanan sebagai
penyebabnya.
2.
Enteropati
yang dipicu oleh protein makanan. Gejala muncul pada bayi berupa diare, muntah,
dan gagal tumbuh. Paling sering akibat protein susu sapi, dapat juga secara
tidak langsung dari kedelai, telur, gandum, beras, ayam, dan ikan.
· Alergi Makanan Campuran IgE dan Non
IgE (Mixed IgE and Non IgE Mediated Food Allergy)
Penyakit alergi lain yang dialami
oleh kelompok ini:
1.
Esofagitis
Eosinofilik Alergika (Allergic Eosinophilic Esophagitis). Muncul pada bayi
sampai remaja, dengan gejala refluks gastroesofagus kronik yang tidak pulih
dengan obat-obatan anti refluks, yakni: muntah, tidak mau makan, nyeri perut,
dan rewel.
2.
Gastritis
Eosinofilik Alergika (Allergic Eosinophilic Gastritis). Dapat timbul pada bayi
sampai remaja, dengan gejala setelah makan seperti mual, muntah, nyeri perut
dan tidak mau makan, sampai obstruksi/sumbatan saluran cerna.
3.
Gastroenteritis
Eosinofilik Alergika (Allergic Eosinophilic Gastroenteritis). Terjadi pada
semua umur dengan gejala gagal tumbuh (failure to thrive), berat badan turun,
dan gejala-gejala esofagitis dan gastritis.
4.
Proktokolitis
Eosinofilika (Eosinophilic Proctocolitis). Timbul pada bayi akibat masuknya
protein makanan melalui ASI atau pada susu formula sapi/kedelai. Ditemukan
darah pada tinja, namun bayi tidak tampak sakit dengan pertumbuhan baik.
·
Diagnosis
Alergi Makanan yang Diperantarai IgE
Adanya antibodi IgE makanan tertentu
dapat dideteksi dengan uji kulit Prick (Prick Skin Test/PST) atau pemeriksaan
darah (RAST – Radioallergosorbent test) yang mengukur kadar antibodi IgE
alergen tertentu di kulit atau darah. Uji kulit Prick sederhana, cepat, dan
tidak terlalu mahal, namun harus dilakukan oleh dokter yang terlatih dalam
metodologi dan pembacaan/interpretasi hasil, mengingat hasil positif palsu
(false positive) cukup sering. Hasil negatif pemeriksaan ini cukup dapat dipercaya
(jarang terjadi negatif palsu). Sedangkan uji RAST lebih mahal, dengan
keterbatasan jumlah akergen yang dapat diperiksa dalamm satu waktu. Hasil
pemeriksaan juga baru dapat diperoleh dalam satu minggu.
Diagnosis definitif/pasti alergi
makanan ditegakkan dengan melihat reaksi segera dari pemaparan makanan yang
bertahap (graded food challenge). Pengujian ini tidak boleh dilakukan di rumah,
jika ada kecurigaan alergi makanan yang diperantarai oleh IgE.
Masih ada beberapa teknik lain
pengujian terhadap alergi makanan, namun belum memiliki pegangan ilmiah yang
diakui, mahal, dan dapat berdampak pada pemantangan terhadap makanan-minuman
yang tidak seharusnya.
Alergi Makanan yang Tidak
Diperantarai IgE
Belum ada pemeriksaan
penunjang/diagnostik spesifik terhadap sindroma hipersensitivitas makanan yang
tidak diperantarai IgE. Satu-satunya cara adalah penghindaran/pemantangan jenis
makanan tertentu, diikuti oleh pemaparan kembali (food challenge). Penghindaran
makanan ini dilakukan dengan pengawasan dokter yang berkompetensi dalam alergi,
dan untuk memastikan asupan gizi juga tercukupi.
Pada sindroma campuran IgE/non-IgE,
uji kulit Prick dapat digunakan. Endoskopi dan biopsi saluran cerna dapat
menunjang pemeriksaan, jika melibatkan tanda-gejala keterlibatan saluran cerna.
· Tata Laksana
Tidak ada penyembuhan terhadap
alergi makanan. Satu-satunya terapi yang terbukti berhasil adalah penghindaran
ketat (strict avoidance) terhadap alergen makanan yang diketahui. Pasien dan
orangtuanya diajari bagaimana membaca label kemasan makanan dengan tepay, dan
mengetahui istilah-istilah tertentu alergen makanan dan produknya. Ahli
gizi/diet (dietisian) dapat dilibatkan dalam hal ini.
Pasien dengan hipersensitivitas
makanan yang diperantarai IgE dibekali dengan rencana tata laksana jika terjadi
reaksi segera/mendadak alergi makanan yang tidak terduga, misalnya menggunakan
alat suntik adrenalin (Epipen®/Epipen junior®). Hal ini dilakukan dengan
bimbingan dokter spesialis anak, atau ahli alergi-imunologi, meliputi edukasi
dan rencana tata laksana anafilaksis yang tertulis.
· Pengawasan Lanjutan (Follow-up)
Sebagian besar alergi makanan
(kecuali kacang-kacangan dan ikan laut/kerang) hilang dengan sendirinya seiring
waktu, maka pasien dipantau secara rutin untuk melihat pengurangan serangan
alergi dan rencana jika terjadi keadaan gawat-darurat akibat alergi.
Kecukupan nutrisi setiap orang juga
dinilai dengan pemberian suplemen yang dibutuhkan, misalnya suplemen kaslium
pada anak di atas 12 bulan yang menghindari konsumsi susu sapi.
Imunisasi juga diberikan rutin
sesuai jadwal. Vaksinasi MMR aman pada anak dengan alergi telur, namun
vaksinasi influenza dikontraindikasikan.
· Pencegahan terhadap Alergi Makanan
Bayi dengan risiko tinggi (misalnya:
ada riwayat alergi pada orangtua/keluarga yang cukup signifikan), rekomendasi
terkini menyatakan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Pembatasan diet
(jenis makanan) ibu selama menyusui untuk mencegah alergi juga tidak
direkomendasikan. Jika bayi sudah mengkonsumsi susu formula, formula
terhidrolisis (protein susu sudah dipecah) direkomendasikan pada bayi dengan
risiko tinggi. Formula terhidrolisis sebagian (partial hydrolysed formula)
misalnya NAN HA® dapat dibeli tanpa resep, sedangkan formula terhidrolisis
seluruhnya (extensively hydrolysed formula) misalnya Peptijunior® hanya bisa
didapatkan dengan resep dokter, dan penggunaannya terbatas pada bayi yang
terbukti alergi terhadap susu sapi dan kedelai. Meskipun belum ada bukti yang menjelaskan
waktu kapan mulai mengkonsumsi makanan padat (solid foods), seringkali
direkomendasikan untuk menunda pengenalan makanan padat sampai bayi mencapai
umur 6 bulan, dan menunda pemberian kacang-kacangan dan ikan laut/kerang sampai
bayi dengan risiko tinggi mencapai umur 3 – 4 tahun.
· Kelirumologi Umum (Common
Misconceptions)
Perilaku seperti hiperaktivitas
sering dihubungkan dengan alergi makanan, namun belum ada buktinya.
Juga tidak ada bukti bahwa susu meningkatkan produksi lendir (mukus), dan penghindaran terhadap susu dan gandum hanya bermanfaat pada pasien yang terbukti alergi makanan jenis ini.
Juga tidak ada bukti bahwa susu meningkatkan produksi lendir (mukus), dan penghindaran terhadap susu dan gandum hanya bermanfaat pada pasien yang terbukti alergi makanan jenis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar